Tuesday, January 8, 2008

Kontroversi Penghargaan Untuk Profesor
(Terima Kasih Kepada Pemprovsu)

Sekitar 190 dari 250 orang anggota Asosiasi Profesor Indonesia Sumatera Utara (API Sumut) menerima uang penghargaan sebesar Rp39,25 juta per orang dari APBDSU 2007. Seperti dikutip Kompas (9/1), menurut Ketua Fraksi Bintang Reformasi DPRDSU yang juga Ketua KAHMI Sumut RM Syafii, perjuangannya bermula tahun 2004. Dia baru tahu gaji profesor hanya sekitar tiga jutaan rupiah. Maka diperjuangkanlah dan mendapat pos anggaran sekitar Rp7,5 miliar dalam APBD 2007 (terima kasih atas usaha itu).

Keberadaan API Sumut sendiri baru dideklerasikan bulan Desember 2007 lalu. Latar belakang utamanya ialah sebagaimana pernah dikemukakan di harian ini, yaitu untuk mendapatkan dana bantuan untuk API tersebut. Kabarnya ketentuan tidak membenarkan bantuan dalam APBD tidak boleh untuk person sehingga perlu teknik pencairan yang legal. Oleh karena karena itu, API Sumut menerima baru kemudian dibagikan untuk anggotanya yang sudah menjadi profesor sebelum 1 Januari 2007. Muncul tanda tanya di kalangan dosen dan sebagian guru besar USU. Kenapa pendidik lain tidak mendapat? Kenapa profesor yang mungkin lebih

berprestasi tapi baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2007 tidak berhak menerima? Apa dasar API Sumut membagi ratanya dengan syarat sudah profesor sebelum 2007? Kenapa tidak mempertimbangkan prestasi dan dedikasi? Kenapa tidak ada pemotongan PPh 21? (Kompas, 8/2). Pertanyaan-pertanyaan yang demikian membuat profesor yang sudah menerima dengan sangat gairah agak jengkel. Ada menanggapi dengan nada protes; 'Itu karena dia nggak kebagian!'. Tetapi, karena curiga ada rentetan di belakang hari, beberapa guru besar USU yang saya kenal menyatakan siap mengembalikannya jika melanggar ketentuan.Baiklah kita fahami dulu siapa sebenarnya yang dimaksud dengan profesor. Sebelumnya harus difahami pula definisi dosen.

Menurut Undang-undang Tentang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, dosen ialah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ipteks melalui tri dharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian dan pengabadian masyarakat. Dosen mempunyai jenjang jabatan akademis asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Sedangkan yang dimaksud dengan profesor ialah jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Di samping bertugas membimbing calon doktor, yang namanya profesor memiliki kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat luas (pasal 48 dan 49).

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu seorang pendidik (guru dan dosen) berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jamsostek, promosi dan penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerjanya, seperti gaji dan tunjangan lain yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Adapun sumber pendanaannya ialah dari APBN (lihat pasal 51, 52 53 dan 54). Sementara sumber dana tunjangan profesi guru ialah dari APBN dan/atau APBD (lihat pasal 16, dan 17). Begitulah beberapa ketentuan dalam UU No 14/2005. Oleh karena itu, ketika wartawan datang mempertanyakan masalah penghargaan politik yang Rp39,25 juta itu saya menjawab atas dasar pasal-pasal tersebut.

Bukan karena nggak kebagian seperti yang disindirkan oleh beberapa kolega. Sekali lagi, sejak membaca berita mengenai rencana tersebut (Agustus 2007), saya berpendapat pemberiannya harus berdasarkan prestasi kerja. Pertimbangannya bukan hanya SK pengangkatan dan juga bukan karena mengingat gaji profesor yang masih kurang. Sebab, kalau itu alasannya, gaji guru, asisten ahli, lektor dan lektor kepala juga sangat kurang untuk menutupi kebutuhan hidup minimum dan jamsostek. Sesama sebagai pendidik semestinya tidak diperlakukan secara diskriminatif. Apalagi mengingat banyak anggota API Sumut yang tidak pernah membimbing calon doktor, baik karena bidang ilmunya yang belum ada di Sumut maupun karena sudah terlalu sibuk bekerja di luar kampus.

Kriteria utama yang selalu saya ajukan ialah berdasarkan buku dan karya ilmiah yang telah dipublikasi si profesor, serta perannya dalam mencerahkan masyarakat. Bukan atas dasar pertimbangan tanggal surat keputusan pengangkatan, yakni sebelum 1 Januari 2007. Untuk itu API Sumut tentu mudah meminta data-data karya anggotanya. Jadi, bukan dengan cara sama rata Rp39,25 juta sebelum dipotong biaya kantor API Sumut. Sebagai kaum profesional, seorang profesor tentu hanya mau menerima tunjangan dan insentif atas prestasi kerjanya. Demikianlah etika kaum profesional, yakni bekerja dengan memperoleh penghasilan yang layak sesuai kinerja masing-masing.

Mengenai masalah pemerataan bagi mayoritas pendidik (guru, asisten ahli, lektor dan lektor kepala) bisa dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah dan wakil rakyat. Sebagai profesional, siapa pun orangnya, termasuk kaum pendidik, seharusnya peduli atas kewajiban membayar pajak (PPh 21) yang sudah diatur oleh undang-undang. Para guru dan dosen lain juga membayar PPh meskipun honornya tidak sampai jutaan rupiah setahun. Selain tidak etis, berpura-pura lupa atau mengabaikan PPh 21 sangat mungkin dijerat dengan tuduhan pelanggaran hukum pajak. Demikianlah pandangan akademis saya ketika menjawab pertanyaan wartawan berkenaan kasus pembagian penghargaan politik sama rata yang Rp7,5 miliar dari APBDSU 2007 itu.

Saya sangat mengapresiasi kebijakan DPRDSU dan Pemprovsu yang selama ini saya nilai memang sangat peduli pada pendidikan di Sumut. Terutama kalau saya sendiri sebagai dosen dan ekonom USU bertemu muka dengan para politisi dan pejabat Sumut. Perjuangan DPRDSU dan keputusan Pemprovsu menyediakan anggaran untuk API Sumut (guna meningkatkan kinerja organisasi) dalam APBDSU 2007 sangat pantas diapresiasi. Apalagi kalau API Sumut tidak melupakan juniornya dalam Asosiasi Dosen I Indonesia (ADI) yang lalai memperjuangkan anggotanya. Semoga perbaikan kesejahteraan guru dan dosen yang merata menjadi satu pos anggaran dalam APBDSU 2008.

Terima kasih kepada DPRDSU dan Pemrpovsu. Semoga Tuhan membalasnya dengan yang lebih baik dan lebih banyak.

Sumber: WASPADA online -Monday, 14 January 2008