Tuesday, August 18, 2009

Istilah Ekonomi (1)

1. Pertumbuhan Ekonomi ialah kenaikan produksi secara nasional yang dinyatakan dalam persentase. Misalnya dikatakan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 empat persen. Berarti hasil seluruh kegiatan produksi yang dilakukan masyarakat pada tahun 2008 mengalami pertambahan atau kenaikan rata-rata empat persen.

Misalnya, penjual pisang goreng, tahun 2007 jualannya laku sekitar 500 potong setiap hari. Tahun 2008 meningkat 20 potong (4%) atau menjadi rata-rata 520 sehari. Seorang pembuat sepatu menghasilkan 100 pasang tiap bulan pada tahun 2007. Tahun berikutnya (2008) bertambah 10 pasang (10%) menjadi 110 pasang per bulan. Demikian pula tukang jahit, pada tahun 2007 menjahit rata-rata 20 kemeja setiap bulan. Tahun 2008 menghasilkan rata-rata 22 kemeja atau meningkat 2 kemeja (10%) per bulan.

Para produsen lainnya ada outputnya meningkat misalnya tiga persen, dan ada yang menurun katakanlah 10 persen. Bahkan ada yang bangkrut tidak memproduksi lagi sama sekali. Sebaliknya ada pula yang baru membuka usaha dengan produksi tertentu. Demikian seterusnya, jika dirata-ratakan yang bertambah, tetap dan berkurang diperolehlah angka pertumbuhan empat persen.

Jika di Indonesia ada sekitar 105 juta orang yang bekerja atau memproduksi setiap hari, maka pertumbuhan empat persen berarti hasil kerja riil setiap orang tumbuh empat persen. Jadi, walaupun ada yang baru bekerja dan kehilangan pekerjaan, atau ada yang menghasilkan produksi yang lebih banyak dan sebagian lain justeru berkurang, tapi semuanya direratakan yakni tumbuh empat persen.

2. Inflasi ialah kenaikan harga-harga secara umum. Istilah lainnya ialah indeks harga konsumen (IHK atau CPI, cunsumer price index). Di Indonesia perhitungan inflasi dilakukan dengan mencatat perubahan harga sekitar 300 jenis barang dan jasa. Pencatatan dilakukan secara teratur pada sejumlah pasar dan kota, misalnya harga beras, gula, minyak goreng, cabai, tomat, pakaian jadi, dan peniti di pusat pasar Medan.

Dari pencatatan harga sekitar 300 jenis barang dan jasa tentu ada yang naik, tetap dan turun. Hasil pencatatan itu kemudian direratakan sehingga diperoleh IHK, misalnya bulan Juni 2009 besarnya IHK adalah 103,00 dan IHK bulan Juli 2009 adalah 103,50 atau naik 0,50 yang berarti terjadi inflasi 0,5 persen pada bulan Juli. Perubahan harga bisa dibandingkan dengan tahun sebelumnya, bisajuga dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya.

Barang dan jasa yang dicatat tersebut biasanya dibagi lagi menjadi beberapa kelompok barang dan jasa, misalnya bahan makanan, makanan dan minuman jadi, sandang, pendidikan dan rekreasi, kesehatan, transpor, bahan bangunan dan lain-lain. Dalam masing-masing kelompok barang dan jasa terdapat beberapa atau belasan jenis lagi.

Konsekuensi pencatatan atas 300 jenis barang dan jasa ialah jika banyak barang dan jasa yang tetap atau tidak naik harganya, dan sebagian kecil seperti harga sembako naik banyak, maka inflasi yang rendah tidak mencerminkan biaya hidup sehari-hari yang juga naik sedikit. Itu sebabnya ketika ibu rumah tangga mengeluhkan inflasi tinggi (karena harga gula, cabai, ikan, daging dan kelapa melejit) surat kabar dan televisi memberitakan inflasi rendah.

3. Pengangguran ialah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Seseorang disebut angkatan kerja mana kala dirinya masuk dalam kelompok usia produktif, yakni 15 tahun ke atas, dan tidak berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga.

Seorang pelajar dan mahasiswa yang sudah lulus atau tamat yang tidak melanjutkan studi lagi biasanya akan mencari pekerjaan. Sebelum mendapat pekerjaan ataupun menciptakan pekerjaan sendiri seperti menjadi pedagang, maka yang bersangkutan disebut pengangguran.

Demikian juga, jika seorang ibu rumah tangga sejati apabila kebetulan bercerai mati atau hidup, maka si wanita tersebut akan masuk dalam kelompok pengangguran. Sebaliknya seorang janda yang sebelumnya menganggur, lantas menikah dengan seorang lelaki, maka statusnya berubah menjadi ibu rumah tangga atau bukan lagi pengangguran.

Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa jika para lulusan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi melanjut ke pendidikan lebih tinggi dan para janda kembali menikah, maka tingkat pengangguran di suatu negara akan turun dibandingkan dengan sebelumnya. Pola penurunan pengangguran yang demikian tidak menambah produksi nasional atau tidak menambah pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, penurunan tingkat pengangguran yang akan menambah output ialah manakala penganggur mendapat pekerjaan atau melakukan kerja sendiri dengan gaji dan upah tertentu. Oleh sebab itu data pengangguran yang menurun masih membutuhkan analisis untuk memastikan dampaknya (positif atau tidak) terhadap kehidupan masyarakat.

sumber: http://www.waspada.co.id

Pengaruh bom terhadap ekonomi

WASPADA Online Tuesday, 18 August 2009 19:11

Sejak bom Bali Oktober2005 Indonesia tak lagi pernah diteror seperti yang meledak di Jakarta pada 17 Juli 2009. Berkat kekompakan para pemimpin bangsa dalam mengurus masyarakat dan negara, situasi politik dan ekonomi terus membaik. Meskipun tidak impresif, persatuan para pemimpin sudah membuahkan kenyamanan bagi pelaku ekonomi. Semboyan ’bersama kita bisa’ terbukti menjadi modal dasar yang sangat penting bagi pasar.

Pengaitan bom Jakarta 17 Juli dengan hasil pilpres yang baru usai telah menyulut polemik tingkat tinggi. Perseteruan pemimpin yang sudah dimulai sejak menjelang kampanye terasa kian memuncak, dan ancaman bom tiba-tiba seperti ngetrend lagi. Jika direnung dengan pikiran yang jernih, kejadian itu membenarkan nasehat orang bijak yang mengatakan bahwa perseteruan pemimpin lebih berbahaya daripada pertikaian orang awam.

Dalam pidatonya Presiden SBY menyatakan alasan yang membuatnya sangat prihatin ialah karena ekonomi Indonesia yang sudah makin membaik selama ini “lagi-lagi harus mengalami keguncangan dan kemunduran, dampak buruknya harus dipikul oleh seluruh rakyat”. SBY tidak seorang diri yang menunjukkan kegalauan berlebih. Banyak pengamat juga mengatakan hal senada bahwa bom akan berdampak negatif yang luas terhadap perekonomian nasional.

Opini main stream ialah bom akan memporakporandakan perekonomian. Para pembentuk opini publik teringat krisis nasional yang diawali tahun 1997-1998. Hingga tahun 2005 banyak aksi teror sehingga ekonomi makin hancur. Oleh sebab itu kebanyakan berpendapat bahwa dengan bom 17 Juli 2009 ekonomi Indonesia akan ambruk di tengah krisis keuangan global yang baru mulai pemulihan.

Kejadian bom harus diisolasi dari perekonomian nasional dan daerah. Pengaruhnya pasti ada meski tidak signifikan, terutama terhadap pasar keuangan seperti bursa efek. Pendapat itu saya nyatakan sebagai ekonom yang faham bahwa dalam era teknologi informasi ekspektasi dan sentimen masyarakat sangat berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian.

Dalam kalimat yang lebih lugas wapres JK mengatakan, ”Orang menjadi makin waspada, tetapi tidak urung berdagang. Di Iran dan Irak yang lebih banyak bom pun orang tetap berdagang selama bisa untung. Seaman apa pun, kalau tidak bisa untung, orang tidak akan berdagang.” (Bisnis Indonesia, 23/7). Seperti biasa, JK meyakinkan dengan caranya yang tidak suka membuat lebih rumit masalah. JK menunjukkan sikap dan cara yang berbeda dengan SBY. Perbedaan yang membuat kepemimpinan mereka selama hampir lima tahun cukup solid.

Dampak pertama bom ialah korban manusia dan kerusakan hotel yang menjadi sasaran teroris. Sanak famili korban kehilangan orang yang dicintainya. Para tamu akan eksodus sehingga penerimaan hotel menurun. Dalam beberapa hari hotel-hotel lain di Jakarta ikut merasakan akibatnya. Namun semuanya merupakan dampak seketika. Elit bisnis di Jakarta segera berkonsolidasi. Mereka bersikap rasional, dan tak hendak ikut dirasuki ketakutan dan kegelisahan yang berlebihan.

Faktanya harga saham di Bursa Efek Indonesia memang sempat sedikit menurun. Tapi kemudian kembali normal dan bahkan naik. Rupiah juga tidak terpengaruh signifikan. Pekan lalu rupiah sudah menguat karena faktor eksternal dan kebijakan Bank Indonesia yang tepat waktu.

Di daerah juga kegiatan ekonomi berjalan normal. Pada 17 Juli malam saya hadir dalam acara makan malam di sebuah hotel di Medan. Esoknya ngopi dan makan siang dengan kawan di hotel yang lain. Semuanya baik-baik saja dan berjalan seperti biasa. Ketika saya tanya, petugas sekuriti mengatakan “aman-aman saja”.

Oleh karena kestabilan ekonomi sangat ditentukan oleh manajemen ekspketasi dan sentimen publik, ke depan Presiden SBY sebaiknya menjauhi gaya yang dapat mendorong kesan kegelisahan berlebihan karena pencitraan seolah-olah situasi sudah amat gawat. Harus diingat selalu bahwa ekspektasi dan sentimen masyarakat jauh lebih sensitif terhadap kestabilan konomi ketimbang letusan bom.