Friday, September 18, 2009

Tradeoffs Pemilu 2009

Bisnis Indonesia Senin, 18/05/2009 12:45 WIB

Dari satu sisi Pemilu 2009 merupakan pendorong atau stimulus ekonomi. Argumennya, karena Pemilu 2009 menyebabkan puluhan triliun rupiah dana mengalir, baik anggaran KPU dan KPUD maupun pengeluaran partai dan para calon legislator, ke dalam putaran ekonomi masyarakat.

Stimulus berlanjut hingga bulan Juli 2009 karena akan berlangsung pemilihan presiden. Bila tak selesai dalam satu putaran berarti stimulus akan berjalan hingga putaran kedua pemilihan presiden pada September 2009. Dengan demikian kalkulasi di atas kertas menunjukkan bahwa Pemilu 2009 menjadi stimulus bagi ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global.

Berapa besar stimlusnya? Ada yang memperhitungkan total pengeluaran untuk Pemilu baik dari APBN dan APBD maupun dari partai dan para calon mencapai Rp58 triliun. Dengan target PDB dalam APBN 2009 mencapai Rp5.328 triliun, berarti kontribusi ekonomi Pemilu adalah 1,08%. Jika asumsi perkiraan total pengeluaran Pemilu hanya Rp30 triliun maka kontribusinya cuma sekitar 0,6%. Kontribusi yang lumayan signifikan.

Tapi daya dorongnya akan habis setelah usai Pemilu. Hampir pasti tidak ada multiplier effect-nya ke tahun 2010 yang berakselerasi ke tahun-tahun berikutnya. Jika pengeluaran Rp30 triliun-Rp58 triliun dirata-ratakan menjadi Rp44 triliun digunakan membangun jalan, maka akan terbangun sekitar 1.100 km jalan bebas hambatan (tol).

Dengan model multiplier effect dimana kecenderungan hasrat mengkonsumsi (MPC) 0,50 angka pengganda adalah 2,00. Artinya, investasi sebesar Rp44 triliun akan menjadi Rp88 triliun. Apabila pembangunan jalan senilai Rp44 triliun dikerjakan dalam setahun, maka dana tersebut meningkatkan produksi nasional (PDB) sebesar Rp88 triliun.

Pertambahan lapangan kerja tentu akan mengakibatkan pertambahan pendapatan nasional yang akan menyebabkan konsumsi meningkat sehingga mendorong sektor riil. Para pengusaha akan membeli peralatan dan bahan bangunan dimana implisit? membayar pajak. Perekonomian akan berputar lebih cepat hingga ke tahun-tahun berikutnya. Pemerintah pun mendapatkan pajak untuk membiayai roda pemerintahan dan pembangunan.

Tradeoffs makin besar karena Pemilu 2009 tidak siginifikan mengurangi fraksi di DPR-RI. Hanya berkurang dari 10 menjadi sembilan fraksi. Akibatnya ialah sebagaimana pengalaman selama ini. Keputusan di parlemen akan ditentukan kesepakatan politik di luar sidang alias black deal. Keputusan pun lebih memihak pada kepentingan kelompok daripada kepentingan publik. Ketidakmampuan pemerintah merealisasi rencana yang sudah diundangkan selalu disikapi oleh parlemen dengan sangat permisif.

Tradeoff lain akibat Pemilu 2009 yang tidak dihitung dalam kalkulasi stimulus ekonomi ialah? produksi jutaan orang calon lagislator bersama tim sukses dan pendukungnya yang melakukan dan menghadiri kampanye. Jika sekian puluh hari kerja dikali sekian juta orang dikali produksi nasional harian per kapita, maka tradeoffs makin besar. Tambah kerugian akibat banyaknya para calon yang sakit jiwa seperti yang diberitakan media massa. Bahkan ada trade off karena praktek sogok politik untuk dapat suara menyebabkan moral hazard dalam masyarakat.

Sebenarnya penelitian sudah membuktikan bahwa demokrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemilu 2009 juga menyebabkan terjadi tradeoffs yang besar. Tapi, demokrasi sudah dianggap sebagai kebahagiaan baru bagi masyarakat negara sedang membangun yang terbius kemajuan negara-negara industri maju. Oleh karena pilihan dan konsensus nasional sudah diputuskan, maka akibatnya harus dipikul bersama. Tradeoffs yang besar harus ditanggung bersama oleh bangsa ini. Hidup harus memilih dan memikul apa pun konsekuensinya.

Tuesday, September 1, 2009

Istilah ekonomi (2)

Debt Service Ratio (DSR) ialah perbandingan kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri dengan total penerimaan ekspor. Dalam berbagai analisis atau tulisan angka DSR sering juga dinyatakan dalam persentase, misalnya pada tahun 1996/1997 DSR Indonesia tercatat 31 persen. Secara teoritis angka tersebut sudah melampaui ambang batas, yakni maksimal 20 persen. Oleh karena itu ketika ada krisis moneter di Thailand tahun 1997, Indonesia menjadi Negara yang ikut mengalami krisis dengan kerusakan ekonomi terparah dan terpanjang.

Belakangan ini DSR jarang digunakan untuk menilai kondisi ekonomi Indonesia. Pemerintah lebih cenderung menggunakan perbandingan jumlah utang dengan pendapatan nasional (PDB). Hal ini dapat difahami sebagai upaya meyakinkan masyarakat bahwa beban hutang luar negeri yang terus bertambah tidak membahayakan. Tetapi jika cicilan dan bunga utang dibandingkan dengan penerimaan ekspor atau DSR, maka kondisi Indonesia masih dalam keadaan yang kritis.

sumber: http://www.waspada.co.id

Pengangguran berpendidikan tinggi

WASPADA Online Tuesday, 01 September 2009 15:35

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama 2004-2009 jumlah angkatan kerja Indonesia bertambah 9,77 juta jiwa dan lapangan kerja bertambah 10,77 juta jiwa. Akibatnya total pengangguran terbuka turun cuma 0,99 juta jiwa, tepatnya dari 10,25 juta jiwa (9,86%) menjadi 9,26 juta jiwa (8,14%).

Masalah yang akan dibahas dalam edisi ini ialah pengangguran berpendidikan tinggi, baik diploma maupun strata satu. Selama periode 2004-2009 pengangguran berpendidikan tinggi bertambah 529.662 jiwa, dari 585.358 jiwa menjadi 1.115.020 jiwa. Jika direratakan, maka setiap tahun pengangguran berpendidikan tinggi bertambah hampir 106.000 jiwa. Masalah yang sangat serius, apalagi dibiarkan berkelanjutan.

Permasalahan tersebut akan dilihat sebagai akibat kebijakan pemerintah, arah perkembangan karakteristik ekonomi dan sistem pendidikan tinggi. Pertama, pemerintah sudah lama menganut kebijakan zero growth dalam hal penambahan pegawai negeri sipil (PNS). Kebijakan tersebut jelas memperkecil peluang lulusan perguruan tinggi ikut mengisi pekerjaan di instansi atau lembaga pemerintah.

Padahal, menurut data yang pernah direlis oleh pemerintah, jumlah PNS di Indonesia hanya sekitar 4 juta jiwa. Jumlah yang kelihatannya banyak, tapi sebenarnya relatif kecil dibanding dengan 240 juta jiwa rakyat Indonesia yang harus dilayani pemerintah. Artinya hanya 1,7 persen dari total penduduk, sementara beberapa negara maju dan negara tetangga mempunyai PNS sekitar 3-4 persen dari jumlah penduduknya.

Jika porsi 3 persen digunakan, maka jumlah PNS di Indonesia perlu ditambah hingga 7,2 juta jiwa. Artinya masih dibutuhkan sekitar 3,2 juta lagi. Seandainya jumlah ini dipenuhi separuhnya atau 1,6 juta saja, maka angkatan kerja berpendidikan tinggi yang masih menganggur sebanyak 1.115.020 jiwa jelas akan terserap habis.

Kedua ialah sebagai akibat karakteristik ekonomi Indonesia. Permasalahan pokoknya ialah pertambahan lapangan kerja yang sangat kecil. Sebagaimana disebutkan di atas, pertambahan lapangan kerja selama lima tahun hanya 10,77 juta. Pengangguran lama tercatat 10,25 juta jiwa dan angkatan kerja baru bertambah 9,77 juta jiwa (total 20,02 juta jiwa). Jauh lebih besar dibanding dengan pertambahan lapangan kerja.

Kondisi tersebut menyebabkan jumlah pengangguran tetap besar dimana termasuk yang berpendidikan tinggi. Pada tahun 2004 pengangguran berpendidikan tinggi adalah 5,71 persen, meningkat menjadi 12,02 persen pada tahun 2009. Masalah pengangguran berpendidikan tinggi semakin serius karena yang bertambah bukan hanya jumlah tetapi juga persentase. Suatu lingkaran masalah yang akan bergulir seperti bola salju, kian lama semakin besar.

Karakteristik lapangan kerja yang dualistik, yakni lapangan kerja formal dan lapangan kerja informal, cenderung makin krusial atau berbahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia. Selama lima tahun lapangan kerja lebih banyak terjadi di sektor atau bidang kegiatan yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi, yakni sektor informal, seperti pedagang kaki lima.

Sementara itu di sektor formal yang terjadi justeru penurunan yang berkepanjangan. Sejak tahun 2001, porsi lapangan kerja formal menurun dari sekitar 35 persen menjadi 30 persen. Sebaliknya lapangan kerja informal meningkat dari 65 persen menjadi 70 persen. Fenomena tersebut merupakan akibat iklim usaha yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan investasi PMDN, PMA maupun investasi pemerintah khususnya pembangunan infrastruktur.

Adapun lapangan kerja di sektor informal seperti menjadi pedagang kaki lima yang dilakukan sendiri oleh rakyat, tumbuh seiring dengan banyaknya pengangguran lama, PHK dan pertambahan angkatan kerja baru. Ironisnya lapangan kerja informal sering diganggu oleh pemerintah kota atas nama keindahan dan ketertiban. Oleh karena pedagang kaki lima tidak punya pilihan lain, maka uring-uringan dengan tim ketertiban sering menjadi berita media massa.

Ketiga ialah karena sistem pendidikan tinggi yang gagal menyeimbangkan jumlah dan mutu. Angkatan kerja berpendidikan tinggi yang dulu dianggap terbatas sekarang justeru terlalu banyak sehingga makin banyak yang menganggur. Akar masalahnya ialah mutu atau relevansi kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar yang ada.

Sumber daya alam yang melimpah dan potensi pasar domestik dengan penduduk 240 juta jiwa seyogianya merupakan peluang bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi. Peluang itu dapat diciptakan dengan cara angkatan kerja berpendidikan tinggi banyak yang menciptakan produk dan pasar baru. Banyak yang memilih tampil sebagai wirausaha sehingga kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

Masalahnya sekarang ialah sebagian besar atau hampir semua angkatan kerja berpendidikan tinggi hanya menunggu lowongan kerja yang disediakan orang lain ataupun menjadi PNS. Faktor utama yang menyebabkan pendidikan tinggi tidak menghasilkan lulusan yang memiliki kewirausahaan ialah sistem yang lemah dengan pengukuran kinerja dan proses belejar mengajar.

Pada tahun 1999 Presiden BJ Habibie telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana perguruan tinggi negeri (PTN) bisa menjadi badan hukum (PT BHMN). Dengan demikian lebih mandiri mengembangkan sistem dengan indikator kinerja dan model pembelajaran baru.

Namun mandat yang diberikan dengan pola PT BHMN ternyata belum sampai pada tahap perubahan yang embuat pendidikan tinggi sebagai lingkungan dan tempat latihan menjadi wirausaha. Oleh sebab itu, perguruan tinggi masih membutuhkan perubahan signifikan sehingga memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang dapat menjadikan perguruan tinggi sebagai sekolah kewirausahaan.

Adapun dua penyebab lainnya, secara bersamaan reformasi birokrasi pemerintah hendaknya tidak lagi menganut zero growth policy. Iklim usaha diperbaiki secara proaktif, dan di bawah iklim usaha yang diperbaiki itu pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur.