Tuesday, June 15, 2010

Mencermati masa depan Inalum

Bisnis Indonesia - Senin, 14/06/2010

Di Sumatra Utara terdapat Sungai Asahan yang mengalirkan air Danau Toba dengan potensi besar listrik tenaga air. Pemerintah Hindia Belanda pernah berusaha memanfaatkan potensi Sungai Asahan tapi tidak berhasil.

Hingga saat ini ada dua pembangkit listrik yang sudah dibangun. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Asahan I sedang dalam penyelesaian dan akan beroperasi tidak lama lagi. Asahan II adalah PLTA yang memasok listrik untuk pabrik aluminium PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Menyusul adalah PLTA Asahan III yang akan ditangani oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan dukungan pendanaan dari Jepang.

Inalum merupakan monumen kerja sama bisnis Indonesia dan Jepang yang menghasilkan aluminium batangan dengan pasokan listrik dari Asahan II. Proyek itu dimulai pada 1972, yaitu saat Nippon Koei menawarkan studi kelayakan Asahan II untuk pabrik peleburan aluminium. Pada 1975 nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) ditandatangani, dan pada 1976 dibentuklah PT Inalum, patungan Indonesia dan Jepang dengan komposisi saham 10% : 90%. Pada 1978 komposisi saham berubah menjadi 25% : 75%, dan sejak 1987 hingga sekarang komposisi sahamnya 41,13% : 56,87%.

Pada 2013 kontrak kerja sama Inalum akan berakhir. Meskipun masih cukup lama, tapi pengambilalihan saham Jepang di Inalum sudah menjadi pembicaraan hangat baik di Jakarta maupun di Sumatra Utara. Menurut keterangan pejabat Otorita Asahan kepada media cetak, total aset Inalum pada 2009 tercatat sekitar Rp45 triliun.

Jepang sudah mengajukan proposal perpanjangan kerja sama, dan pemerintah pusat akan memutuskannya pada Oktober 2010. Ada dua opsi yang akan dibawa ke meja perundingan, yaitu kontrak tidak diperpanjang atau kontrak diperpanjang. Opini publik yang berkembang meminta Indonesia harus mengambil alih seluruh saham Inalum. Di Sumut berkembang aspirasi bahwa daerah mesti ikut memiliki saham PT Inalum.

Bersamaan dengan berita panas pengambilalihan saham Jepang di Inalum, muncul berita lain yang sama hangatnya. Pertama, setelah PLTA Asahan I yang dikerjakan China hampir selesai, muncul berita bahwa belum ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan DPR meminta ditunda pengoperasiannya. Masyarakat pun terheran-heran, kenapa setelah siap beroperasi, baru Amdal dihebohkan.

Kedua, adalah berita yang menuding Pemerintah Provinsi Sumut memperlambat izin PT PLN yang akan kerja sama dengan Jepang membangun PLTA Asahan III. Pemprov Sumut sudah sejak lama menjajaki kerja sama dengan swasta China untuk membangun PLTA Asahan III. Kepercayaan Pemda kepada China menguat setelah melihat pembangunan PLTA Asahan I dengan ongkos pembangunan yang dianggap irit.

Sementara itu masyarakat terus mendesak supaya segera membangun PLTA Asahan III untuk mengatasi krisis listrik yang berkepanjangan di Sumut. Tarik-menarik antara Pemprov dan PT PLN sempat memuncak.

Gubernur Syamsul Arifin 'melunak' dengan syarat listrik yang dihasilkan Asahan III harus untuk masyarakat Sumut.

Dirut PLN Dahlan Iskan pun mengakui bahwa listrik dari PLTA Asahan III bukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Inalum yang berencana meningkatkan kapasitas produksi.

Punya konsekuensi

Gambaran di atas akan memengaruhi rencana pengambilalihan saham Inalum. Kedua opsi (kontrak diperpanjang atau tidak) sama-sama mempunyai konsekuensi membayar saham Jepang. Jadi istilah dan substansinya bukan menerima dividen melainkan membayar saham dalam hitungan triliunan rupiah. Jika kelak ada keuntungan atau laba, mungkin RUPS bisa memutuskan untuk melakukan pembagian dividen.

Jika Indonesia memilih opsi tidak memperpanjang kontrak, pemerintah (pusat dan daerah) harus membayar saham Jepang yang 58,87% atau sekitar Rp26,5 triliun. Bisa diperoleh melalui pasar modal dengan strategic sales, dan/atau menggunakan APBN/APBD. Namun, ada kemungkinan publik menolak karena masih banyak pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum yang lebih mendesak.

Jika kontrak diperpanjang dan Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas, perundingan akan mengubah komposisi kepemilikan saham. Dengan asumsi total aset Rp45 triliun dan Jepang bersedia dengan komposisi 51% : 49%, Indonesia harus membayar 9,87% setara dengan Rp4,44 triliun.

Dilihat dari kepentingan Jepang dan kemampuan Indonesia membayar, opsi tersebut sangat mungkin dilaksanakan. Pemerintah pusat bisa memberi peluang bagi pemerintah dan swasta daerah ikut memiliki saham. Misalnya pusat membayar 40% atau Rp1,78 triliun, dan daerah Rp2,66 triliun atau setara 5,92% saham. Dengan kata lain, tampaknya pemerintah akan memilih opsi perpanjangan kontrak dengan saham mayoritas.

Namun, opsi tersebut bukan dalam konteks penambahan pasokan listrik bagi masyarakat di Sumut. Apalagi kalau listrik PLTA Asahan I dan PLTA Asahan III yang akan dibangun PT PLN bersama Jepang adalah untuk menambah kapasitas produksi Inalum.

Dengan proposal perpanjangan kontrak Inalum (PLTA Asahan II) dan minat Jepang masuk ke PLTA Asahan III, jelas dalam rangka meningkatkan kapasitas Inalum. Sebaliknya, jika listrik Sungai Asahan diharapkan menambah pasokan listrik untuk masyarakat luas, opsi tidak memperpanjang kontrak merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat Sumut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masa depan Inalum masih panjang dan akan berkembang. Harapan penambahan arus listrik bagi masyarakat Sumut adalah PLTA Asahan I yang terlambat beroperasi karena Amdal. Pembicaraan perpanjangan kontrak Inalum harus dipisahkan dari kebutuhan penambahan arus bagi rakyat. Hal ini perlu digarisbawahi supaya kelak tidak ada yang terkecoh dan menjadi pemicu ketidaksenangan terhadap Inalum.

Oleh Jhon Tafbu Ritonga
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara