Tuesday, August 18, 2009

Pengaruh bom terhadap ekonomi

WASPADA Online Tuesday, 18 August 2009 19:11

Sejak bom Bali Oktober2005 Indonesia tak lagi pernah diteror seperti yang meledak di Jakarta pada 17 Juli 2009. Berkat kekompakan para pemimpin bangsa dalam mengurus masyarakat dan negara, situasi politik dan ekonomi terus membaik. Meskipun tidak impresif, persatuan para pemimpin sudah membuahkan kenyamanan bagi pelaku ekonomi. Semboyan ’bersama kita bisa’ terbukti menjadi modal dasar yang sangat penting bagi pasar.

Pengaitan bom Jakarta 17 Juli dengan hasil pilpres yang baru usai telah menyulut polemik tingkat tinggi. Perseteruan pemimpin yang sudah dimulai sejak menjelang kampanye terasa kian memuncak, dan ancaman bom tiba-tiba seperti ngetrend lagi. Jika direnung dengan pikiran yang jernih, kejadian itu membenarkan nasehat orang bijak yang mengatakan bahwa perseteruan pemimpin lebih berbahaya daripada pertikaian orang awam.

Dalam pidatonya Presiden SBY menyatakan alasan yang membuatnya sangat prihatin ialah karena ekonomi Indonesia yang sudah makin membaik selama ini “lagi-lagi harus mengalami keguncangan dan kemunduran, dampak buruknya harus dipikul oleh seluruh rakyat”. SBY tidak seorang diri yang menunjukkan kegalauan berlebih. Banyak pengamat juga mengatakan hal senada bahwa bom akan berdampak negatif yang luas terhadap perekonomian nasional.

Opini main stream ialah bom akan memporakporandakan perekonomian. Para pembentuk opini publik teringat krisis nasional yang diawali tahun 1997-1998. Hingga tahun 2005 banyak aksi teror sehingga ekonomi makin hancur. Oleh sebab itu kebanyakan berpendapat bahwa dengan bom 17 Juli 2009 ekonomi Indonesia akan ambruk di tengah krisis keuangan global yang baru mulai pemulihan.

Kejadian bom harus diisolasi dari perekonomian nasional dan daerah. Pengaruhnya pasti ada meski tidak signifikan, terutama terhadap pasar keuangan seperti bursa efek. Pendapat itu saya nyatakan sebagai ekonom yang faham bahwa dalam era teknologi informasi ekspektasi dan sentimen masyarakat sangat berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian.

Dalam kalimat yang lebih lugas wapres JK mengatakan, ”Orang menjadi makin waspada, tetapi tidak urung berdagang. Di Iran dan Irak yang lebih banyak bom pun orang tetap berdagang selama bisa untung. Seaman apa pun, kalau tidak bisa untung, orang tidak akan berdagang.” (Bisnis Indonesia, 23/7). Seperti biasa, JK meyakinkan dengan caranya yang tidak suka membuat lebih rumit masalah. JK menunjukkan sikap dan cara yang berbeda dengan SBY. Perbedaan yang membuat kepemimpinan mereka selama hampir lima tahun cukup solid.

Dampak pertama bom ialah korban manusia dan kerusakan hotel yang menjadi sasaran teroris. Sanak famili korban kehilangan orang yang dicintainya. Para tamu akan eksodus sehingga penerimaan hotel menurun. Dalam beberapa hari hotel-hotel lain di Jakarta ikut merasakan akibatnya. Namun semuanya merupakan dampak seketika. Elit bisnis di Jakarta segera berkonsolidasi. Mereka bersikap rasional, dan tak hendak ikut dirasuki ketakutan dan kegelisahan yang berlebihan.

Faktanya harga saham di Bursa Efek Indonesia memang sempat sedikit menurun. Tapi kemudian kembali normal dan bahkan naik. Rupiah juga tidak terpengaruh signifikan. Pekan lalu rupiah sudah menguat karena faktor eksternal dan kebijakan Bank Indonesia yang tepat waktu.

Di daerah juga kegiatan ekonomi berjalan normal. Pada 17 Juli malam saya hadir dalam acara makan malam di sebuah hotel di Medan. Esoknya ngopi dan makan siang dengan kawan di hotel yang lain. Semuanya baik-baik saja dan berjalan seperti biasa. Ketika saya tanya, petugas sekuriti mengatakan “aman-aman saja”.

Oleh karena kestabilan ekonomi sangat ditentukan oleh manajemen ekspketasi dan sentimen publik, ke depan Presiden SBY sebaiknya menjauhi gaya yang dapat mendorong kesan kegelisahan berlebihan karena pencitraan seolah-olah situasi sudah amat gawat. Harus diingat selalu bahwa ekspektasi dan sentimen masyarakat jauh lebih sensitif terhadap kestabilan konomi ketimbang letusan bom.

No comments:

Post a Comment