Tuesday, September 1, 2009

Pengangguran berpendidikan tinggi

WASPADA Online Tuesday, 01 September 2009 15:35

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama 2004-2009 jumlah angkatan kerja Indonesia bertambah 9,77 juta jiwa dan lapangan kerja bertambah 10,77 juta jiwa. Akibatnya total pengangguran terbuka turun cuma 0,99 juta jiwa, tepatnya dari 10,25 juta jiwa (9,86%) menjadi 9,26 juta jiwa (8,14%).

Masalah yang akan dibahas dalam edisi ini ialah pengangguran berpendidikan tinggi, baik diploma maupun strata satu. Selama periode 2004-2009 pengangguran berpendidikan tinggi bertambah 529.662 jiwa, dari 585.358 jiwa menjadi 1.115.020 jiwa. Jika direratakan, maka setiap tahun pengangguran berpendidikan tinggi bertambah hampir 106.000 jiwa. Masalah yang sangat serius, apalagi dibiarkan berkelanjutan.

Permasalahan tersebut akan dilihat sebagai akibat kebijakan pemerintah, arah perkembangan karakteristik ekonomi dan sistem pendidikan tinggi. Pertama, pemerintah sudah lama menganut kebijakan zero growth dalam hal penambahan pegawai negeri sipil (PNS). Kebijakan tersebut jelas memperkecil peluang lulusan perguruan tinggi ikut mengisi pekerjaan di instansi atau lembaga pemerintah.

Padahal, menurut data yang pernah direlis oleh pemerintah, jumlah PNS di Indonesia hanya sekitar 4 juta jiwa. Jumlah yang kelihatannya banyak, tapi sebenarnya relatif kecil dibanding dengan 240 juta jiwa rakyat Indonesia yang harus dilayani pemerintah. Artinya hanya 1,7 persen dari total penduduk, sementara beberapa negara maju dan negara tetangga mempunyai PNS sekitar 3-4 persen dari jumlah penduduknya.

Jika porsi 3 persen digunakan, maka jumlah PNS di Indonesia perlu ditambah hingga 7,2 juta jiwa. Artinya masih dibutuhkan sekitar 3,2 juta lagi. Seandainya jumlah ini dipenuhi separuhnya atau 1,6 juta saja, maka angkatan kerja berpendidikan tinggi yang masih menganggur sebanyak 1.115.020 jiwa jelas akan terserap habis.

Kedua ialah sebagai akibat karakteristik ekonomi Indonesia. Permasalahan pokoknya ialah pertambahan lapangan kerja yang sangat kecil. Sebagaimana disebutkan di atas, pertambahan lapangan kerja selama lima tahun hanya 10,77 juta. Pengangguran lama tercatat 10,25 juta jiwa dan angkatan kerja baru bertambah 9,77 juta jiwa (total 20,02 juta jiwa). Jauh lebih besar dibanding dengan pertambahan lapangan kerja.

Kondisi tersebut menyebabkan jumlah pengangguran tetap besar dimana termasuk yang berpendidikan tinggi. Pada tahun 2004 pengangguran berpendidikan tinggi adalah 5,71 persen, meningkat menjadi 12,02 persen pada tahun 2009. Masalah pengangguran berpendidikan tinggi semakin serius karena yang bertambah bukan hanya jumlah tetapi juga persentase. Suatu lingkaran masalah yang akan bergulir seperti bola salju, kian lama semakin besar.

Karakteristik lapangan kerja yang dualistik, yakni lapangan kerja formal dan lapangan kerja informal, cenderung makin krusial atau berbahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia. Selama lima tahun lapangan kerja lebih banyak terjadi di sektor atau bidang kegiatan yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi, yakni sektor informal, seperti pedagang kaki lima.

Sementara itu di sektor formal yang terjadi justeru penurunan yang berkepanjangan. Sejak tahun 2001, porsi lapangan kerja formal menurun dari sekitar 35 persen menjadi 30 persen. Sebaliknya lapangan kerja informal meningkat dari 65 persen menjadi 70 persen. Fenomena tersebut merupakan akibat iklim usaha yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan investasi PMDN, PMA maupun investasi pemerintah khususnya pembangunan infrastruktur.

Adapun lapangan kerja di sektor informal seperti menjadi pedagang kaki lima yang dilakukan sendiri oleh rakyat, tumbuh seiring dengan banyaknya pengangguran lama, PHK dan pertambahan angkatan kerja baru. Ironisnya lapangan kerja informal sering diganggu oleh pemerintah kota atas nama keindahan dan ketertiban. Oleh karena pedagang kaki lima tidak punya pilihan lain, maka uring-uringan dengan tim ketertiban sering menjadi berita media massa.

Ketiga ialah karena sistem pendidikan tinggi yang gagal menyeimbangkan jumlah dan mutu. Angkatan kerja berpendidikan tinggi yang dulu dianggap terbatas sekarang justeru terlalu banyak sehingga makin banyak yang menganggur. Akar masalahnya ialah mutu atau relevansi kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar yang ada.

Sumber daya alam yang melimpah dan potensi pasar domestik dengan penduduk 240 juta jiwa seyogianya merupakan peluang bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi. Peluang itu dapat diciptakan dengan cara angkatan kerja berpendidikan tinggi banyak yang menciptakan produk dan pasar baru. Banyak yang memilih tampil sebagai wirausaha sehingga kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

Masalahnya sekarang ialah sebagian besar atau hampir semua angkatan kerja berpendidikan tinggi hanya menunggu lowongan kerja yang disediakan orang lain ataupun menjadi PNS. Faktor utama yang menyebabkan pendidikan tinggi tidak menghasilkan lulusan yang memiliki kewirausahaan ialah sistem yang lemah dengan pengukuran kinerja dan proses belejar mengajar.

Pada tahun 1999 Presiden BJ Habibie telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana perguruan tinggi negeri (PTN) bisa menjadi badan hukum (PT BHMN). Dengan demikian lebih mandiri mengembangkan sistem dengan indikator kinerja dan model pembelajaran baru.

Namun mandat yang diberikan dengan pola PT BHMN ternyata belum sampai pada tahap perubahan yang embuat pendidikan tinggi sebagai lingkungan dan tempat latihan menjadi wirausaha. Oleh sebab itu, perguruan tinggi masih membutuhkan perubahan signifikan sehingga memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang dapat menjadikan perguruan tinggi sebagai sekolah kewirausahaan.

Adapun dua penyebab lainnya, secara bersamaan reformasi birokrasi pemerintah hendaknya tidak lagi menganut zero growth policy. Iklim usaha diperbaiki secara proaktif, dan di bawah iklim usaha yang diperbaiki itu pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur.

No comments:

Post a Comment